Selasa, 14 Oktober 2008

Liburan dan Lebaran keluargaku di Mesir


Sejak tanggal 26 September Kedutaan sudah mulai libur sampai nanti tanggal 6 Oktober (tanggal 26-27 September, memang hari libur di Kedutaan, sementara tanggal 6 Oktober adalah hari libur orang Mesir, jadi kita libur juga). Meskipun libur, tapi sudah menjadi kebiasaan, suami saya tetap diminta datang ke kantor karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan.

Saya sempat bertanya kenapa setiap kali libur ia sering tetap datang ke kantor dan ada kerjaan terus, sementara kalau pegawai di Indonesia, liburan itu ya liburan, nggak ada kerjaannya?" Beliau menjawab, "Memang begitu suasana kerja di LN (kedutaan), tidak sama dengan di Indonesia. Di Kedutaan ini banyak sekali pekerjaan sehingga sulit mencari waktu istirahat. Namun, tentu saja ini tidak berlaku di semua bidang, kebetulan saja di bidang ini seperti itu." (Saya bisa mengerti dan paham–harus dipaham-pahamkan dan harus bisa menerima kondisi karena tuntutan kerja suami memang demikian).

Hari pertama lebaran saja, yang seharusnya saya dan keluarga bisa kumpul dan santai, suami saya tetap tugas karena Dubes (Duta Besar) buka rumah untuk seluruh masyarakat Indonesia di Kairo (Open House). Dari pagi, begitu selesai salat 'Ied (Rabu, 1 Syawal 1429H), beliau langsung menuju Kedutaan, sementara saya dan anak-anak pulang ke rumah.
Sore pukul 4 saya bersama anak-anak silaturahmi ke kedutaan. Di sana, telah banyak berkumpul masyarakat Indonesia, para mahasiswa dan mahasiswi, serta para istri asal Indonesia yang kebetulan suaminya adalah orang asing (non Indonesia).

Selama 7 hari boleh dikatakan asap dapur saya tidak mengepul, dengan kata lain saya tidak makan siang maupun makan malam di rumah. Tiga hari silaturahmi di rumah-ruma
h home dan local staff, mulai pagi sampai malam. Di Kairo, memang ada kebiasaan seperti itu. Banyak yang membuat acara open house dan silaturahmi lebaran. Bergantian dari pagi sampai malam dan lazimnya selalu dihidangkan makanan dengan berbagai macam menu.

Hari Sabtu-Minggu kami keluar kota karena kebetulan suami ditugaskan ke Tanta. Kami menginap di hotel yang dekat dengan mesjid serta makam Syekh Al Badawi, ulama asal Fez, Maroko, keturunan Fathimiyyah, masih ada hubungan kekerabatan dengan Imam Ali radhiallahu'anhu. Syekh Badawi ini terkenal sebagai orang yang "Selalu menutup wajahnya" dan memiliki karamah cukup tinggi.

Dalam sebuah cerita disebutkan bahwa suatu kali seorang temannya bermimpi ketemu Syekh Badawi ini, kemudian dalam mimpi itu Syeikh Badawi berpesan agar sang teman menghemat bahan makanan pokoknya, namun ia harus tetap berinfaq kepada para fakir miskin karena tahun depan akan datang masa paceklik. Setelah setahun, kejadian dalam mimpi itu benar-benar menjadi kenyataan.

Sementara itu, julukan sebagai “yang selalu menutup wajahnya” diberikan karena beliau memiliki pandangan matanya sangat tajam, beliau mampu memandang sinar matahari langsung dan apabila seseorang memandang beliau, maka orang tersebut akan merasakan pancaran sinar
matanya yang tajam. Menurut buku sejarah yang saya baca, sampai usia sekitar 80 tahun (wafatnya) beliau belum pernah menikah.

Dulu, setiap tahun diadakan acara maulid Sang Syekh di mesjid Al Badawi namun karena alasan untuk menjaga kemurnian aqidah hal itu tidak diadakan lagi. Mesjid ini cukup indah dan luas. Saat kita masuk ke dalamnya ada perasaan kita sedang memasuki Masjid al-Haram di Mekkah karena ramainya pengunjung, sementara hamam (kamar mandi) untuk berwudhu perempuan dan laki-laki bercampur (hanya untuk wudhu, bukan toilet). Selama dua hari kunjungan, kami salat Subuh, Zuhur, dan Magrib di sana. Sementara untuk salat Asar kami cari mesjid lain, di Mesir memang terdapat banyak mesjid yang letaknya berdekatan, besar-besar dan megah bangunannya.
Namun, saya malas berwudhu di sebahagian mesjid yang ada Mesir karena biasanya toiletnya kotor. Saya enggak kuat baunya. Saya pikir mendingan tidak buang air, mendingan nahan, ketimbang harus buang air di tempat yang kotor. Satu-satunya kekurangan dari mesjid yang megah ini adalah kebersihannya. Saya juga melihat penjagaan yang ada di situ sangat minim, padahal mesjid tersebut sangat megah dan sangat indah.

Minggu siang kami pulang setelah sekali lagi berziarah ke makam dan mesjid Al-Badawi. Dari sini kami langsung menuju Kairo dan makan siang di McDonald. Malamnya, saya baru mulai memasak lagi setelah seminggu enggak ada acara masak-memasak. Eh, pas selesai masak ada mahasiswa yang telepon bilang kalau mau datang ke rumah. Kebetulanlah saya pikir. Coba kalau belum masak, kan enggak enak. Masa ada orang berkunjung ke rumah enggak disuguh apa-apa, cuma kue doang. Entah kenapa juga malam itu saya ingin masak. Saya bilang sama suami pingin masak sambal goreng cabe hijau. Saya goreng udang dan makan dengan sambal goreng cabai hijau. Hmm.....benar-benar nikmat.

Mahasiswa-mahasiswa itu datang pas kami baru selesai makan malam. Jadi setelah mereka telepon dan menuju rumah, saya cepat-cepat masak nasi lagi dan menambahkan lagi lauk gulai tekwan dan mie instan, masak goreng pisang. Yah... benar-benar jamuan yang sangat sederhana dan apa adanya. Habis gimana lagi. Kami baru pulang dari luar kota sementara mereka ngasih tahunya juga hanya beberapa menit setelah saya sampai di rumah. Otomatis, saya nggak sempat masak dengan menu yang macam-macam.

Tampaknya, para mahasiswa itu sengaja bersilaturahmi ketika mengetahui jika kami baru pulang. Betul, agar tak merepotkan tuan rumah. Namun, hati saya tetap yang tidak enak. Siapa tahu mereka belum sempat makan di rumah. Selama ini, mereka sangat baik. Sudah seperti saudara sendiri. Rasa kekeluargaan di rantau orang, di luar negeri, itu jauh lebih tinggi ketimbang saat kita berada di Indonesia. Nggak pandang ras/suku, dari mana saja, beragam suku, namun bisa dikatakan rasa persaudaraan kami sangat tinggi. Bahkan, saya justru lebih dekat dengan orang-orang yang berbeda suku. Itulah yang bikin saya betah hidup di Mesir.

Suasana keislaman, mesjid yang bertebaran di mana-mana, aman, ditambah persaudaraan sesama bangsa Indonesia. Sungguh luar biasa nikmatnya. Bukannya tidak ada perselisihan, tetap ada, namun tak sampai menimbulkan dendam di hati, tak ada iri dan caci maki, kami saling menolong, bercanda, benar-benar bersaudara.

Hari Senin ini kami diundang makan empek-empek atau tekwan di rumah salah seorang teman saya–beliau ini juga pergi bersama kami ke Tanta. Saya sempat tanya ke teman tersebut, “kapan kakak bisa siapin makanannya?” Beliau jawab: "Gampang Ima, tinggal pesan sama mahasiswa saja." Yah begitulah...rata-rata ibu-ibu di sini. Kalau ngundang mahasiswa ataupun teman-teman, cukup pesan makanan saja. Namun ada juga ibu-ibu yang rajin masak tiap hari, biasanya mereka adalah ibu-ibu home staff yang punya pembantu, jadi ada yang membantu mereka memasak. Hanya saya yang masih belum bisa pesan makanan kalau mengundang orang ke rumah.

Kalau mengundang orang dan makannya di mesjid baru bisa pesan, tapi kalau di rumah saya lebih suka masak sendiri. Hanya saja, kalau umur dah tua begini tenaga banyak berkurang, tidak seperti ketika masih muda dulu, tenaga masih kuat, bisa ngundang banyak orang, sampai puluhan, bahkan ratusan. Sekarang saya hanya bisa ngundang 30 orang. Itu dah maksimal, selebih itu saya benar-benar nggak kuat, tenaga terasa sekali lemahnya.

Hari Selasa besok kedutaan mulai masuk seperti sedia kala. Dan Ibu-ibu pengajian pun akan mulai lagi dengan kegiatan rutinnya. Sementara saya sendiri, insya Allah kalau tak ada halangan, akan bersiap pulang ke Indonesia. Saya ingin mengajak anak saya yang di pesantren di Indonesia agar mau sekolah di Kairo lagi.

Wassalamu'alaikum.

Ini sekedar bacaan ringan saja. Mohon Maaf lahir dan Bathin
Rahima, Kairo 6 Oktober/6 Syawal (2008M/1429H)


0 komentar:

Posting Komentar